UN dan Penilaian Autentik

Kamis, 26 April 2018 - 08:38 WIB
UN dan Penilaian Autentik
UN dan Penilaian Autentik
A A A
Biyanto

Dosen UIN Sunan Ampel,
Anggota BAN PAUD dan PNF

UJIAN nasional (UN) SMA dan yang se­de­rajat telah se­le­sai. Selanjutnya UN untuk SMP dan sederajat yang dilaksanakan pada 23-26 April 2018. Pemerintah, mela­lui Ke­men­terian Pendidikan dan Ke­bu­dayaan (Kemen­dik­bud) pas­ti telah menyiapkan pe­­lak­sa­naan UN dengan cer­mat. Hal itu penting agar per­soal­an tek­nis yang potensial mun­cul se­lama UN dapat di­an­ti­sipasi. Se­bab, harus disadari UN me­ru­­pakan hajatan n­a­sio­nal s­e­hing­ga dapat me­me­nga­ruhi ke­hormatan (marwah) ne­gara di mata dunia.

Jika berkaca pada pe­lak­sa­na­an UN SMA, tampak bahwa ke­luhan yang terjadi di la­pang­an telah bergeser dari per­soal­an teknis penyelenggaraan ke bo­bot materi ujian. Rata-rata sis­wa SMA mengalami k­e­su­lit­an mengerjakan soal-soal UN. Men­jawab keluhan siswa SMA, Mendikbud Muhadjir Ef­fendy menjelaskan bahwa ting­kat kesulitan soal UN me­mang dinaikkan ke level higher or­der thinking skill (HOTS). Ka­re­na itu, dapat dipahami jika ba­nyak siswa kurang siap. Apa­lagi pembelajaran guru-guru, ter­utama di daerah, belum beran­jak ke level HOTS.

Pada 2018, Kemendikbud ju­ga tetap melaksanakan UN de­ngan dua model, yakni ujian na­sional berbasis komputer (UNBK) dan ujian nasional ber­ba­sis kertas dan pensil (UNBKP). Data Kemendikbud meng­informasikan bahwa pa­da tahun ini ada 16 provinsi yang telah melaksanakan UNBK untuk seluruh SMA dan SMP. Provinsi lainnya masih meng­gunakan UN model UNBK dan UNBKP.

Kemen­dik­bud juga menoleransi se­ko­lah berkategori terpencil, ter­luar, dan tertinggal (3T) untuk ti­dak mengikuti UNBK. Sekolah di wilayah 3T tetap di­­perbolehkan untuk me­la­k­sa­­nakan UN model UNBKP. To­­leransi itu diberikan karena fa­­silitas sekolah di daerah 3T umum­nya juga belum me­ma­dai, termasuk ketersediaan ja­ring­an internet.

Untuk menyukseskan pe­nye­l­enggaraan UN secara se­ren­tak pemerintah pasti m­e­nge­luarkan sumber daya dan an­g­garan yang sangat besar. Per­soalannya, haruskah UN di­­selenggarakan setiap tahun? Bu­kankah sejak tiga tahun ter­akhir pemerintah telah mem­buat kebijakan UN tidak lagi me­nentukan kelulusan siswa? Per­tanyaan ini terus me­nge­muka seiring hilangnya daya “ke­ramat” UN. Kesakralan UN ter­gerus tajam karena tidak la­g­i menjadi penentu kelulusan. ­UN sekadar menjadi alat me­me­takan mutu pendidikan.

Di samping karena tidak la­gi menentukan kelulusan, UN ma­­sih dinodai insiden ke­tak­juj­­uran (dishonesty). Iro­nis­nya, da­lam era demokrasi lang­­sung ini UN telah menjadi per­­ha­tian pe­jabat publik mu­lai pre­siden, wa­kil presiden, gu­­ber­nur, bu­pa­ti/wali kota, dan ke­­pala di­nas pendidikan ka­­re­na ke­ber­ha­silan pe­lak­sa­na­­an­nya dapat men­jadi media pen­­ci­traan. Bah­­kan sejumlah ke­­pa­la da­e­rah dengan gagah mem­­berikan tar­get pada ke­pa­la dinas pe­n­di­dik­an untuk me­­ning­katkan ke­lu­lusan sis­wa. Se­akan tidak mau kalah, ke­­pa­la dinas pen­di­dik­an meng­­un­dang kepala se­ko­lah de­ngan tu­juan menyuk­ses­­kan UN. Berbagai langkah di­­tem­­puh, termasuk cara-cara yang ti­d­ak jujur.

Kepala sekolah juga me­nye­­leng­garakan doa bersama un­­tuk memperkuat kondisi spi­­ri­tua­litas siswa. Hal itu me­­nun­juk­kan bahwa pers­pek­tif stake­holders pen­di­dik­an terhadap UN belum ber­ubah. UN masih di­pandang ke­ramat dan sakral. Pa­dahal, ke­bijakan tentang UN sangat di­namis. Jika me­li­hat dari awal penentuan keb­i­jak­an­nya, UN merupakan ha­sil dari se­buah proses politik. Ke­bi­jak­an UN merupakan k­e­se­pa­kat­an pemerintah dan l­e­gis­la­tif sehingga harus di­lak­sa­na­kan. Alokasi biaya dari ang­gar­an pendapatan dan be­lan­ja ne­gara/daerah (APBN/D) juga disiapkan.

Dengan alasan itulah pe­me­rintah menolak tuntutan mo­ratorium UN. Karena me­ru­pakan produk politik, untuk me­lakukan moratorium UN pun butuh lobi-lobi politik.Di sam­ping itu, penting di­la­ku­kan kajian mendalam tentang dam­pak kebijakan mora­to­rium UN. Hasil kajian dapat men­jadi pijakan untuk me­ru­mus­kan kebijakan revitalisasi pe­laksanaan UN.

Karena tujuan UN untuk me­metakan mutu pendidikan, ideal­nya kelulusan siswa men­jadi otoritas guru. Rasanya su­dah saatnya stakeholders pen­di­dikan memberikan k­e­per­ca­ya­an pada guru. Apalagi guru-guru sejatinya memiliki pe­nga­laman menilai siswa de­ngan model penilaian autentik (au­thentic assessment). Pe­ni­laian autentik meniscayakan gu­ru menilai apa yang se­ha­rus­nya dinilai, menilai dari banyak as­pek, dan menilai dari ber­ba­gai sumber.

Dari perspektif teori eva­lua­si pendidikan dapat di­pas­ti­kan bahwa penilaian otentik jauh lebih kredibel dari hasil UN. Syaratnya, guru-guru me­ni­lai siswa dengan jujur dan ob­jek­tif. Melalui kegiatan ulang­an harian, ujian tengah se­mes­ter, ujian akhir semester, pe­nu­gas­an, dan mengobservasi pe­ri­laku siswa setiap hari, para gu­ru sejatinya telah mel­a­ku­kan penilaian otentik. Jika se­rang­kaian kegiatan penilaian itu dilakukan dengan jujur, ha­silnya pasti lebih tepercaya.

Pertanyaannya, jika guru te­lah terlatih dengan penilaian au­tentik, bagaimana dengan UN?­ Sebagaimana fungsi awal­nya, UN penting untuk me­me­ta­kan mutu pendidikan. Te­ta­pi pe­laksanaan UN tidak harus s­e­­tiap tahun. Yang terpenting, ha­­sil UN dijadikan rujukan pem­­bi­na­an sekolah. Dana be­sar yang d­i­alokasikan untuk pe­­la­k­sa­na­an UN dapat d­i­man­faatkan un­tuk membina sekolah-sekolah yang belum me­menuhi standar m­i­nimal pe­layanan pendidikan.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6015 seconds (0.1#10.140)